Source : Jawapos, Selasa, 07 Oktober 2008
SURABAYA – Dua mahasiswa D-3 Teknik Telekomunikasi Politeknik
Elektronika Negeri Surabaya (PENS) ITS Surabaya, Debi Praharadika dan
Eko Wahyu Susilo, membuat tugas akhir (TA) menarik. Mereka menciptakan
sistem operasi Linux untuk para tunanetra. Dengan karya tersebut, para
tunanetra menjadi lebih mudah menggunakan komputer.
ibunya yang menjadi pengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunagrahita.
Berawal dari pertanyaan tersebut, muncul niat Debi membuat program
Linux bagi tunanetra. Selanjutnya, dia menggandeng Eko untuk memulai
proyek itu.
Sejak awal, mereka berkomitmen bahwa TA tersebut
bertujuan membantu sesama dan tidak dikomersialkan. Karena itu, Debi
dan Eko memilih Linux sebagai programnya. Mengapa? Sebab, mereka tidak
perlu membeli untuk mendapatkan programnya. Saat ini, karya mereka
dilindungi oleh Genuine Public License (GPL). Masyarakat umum dapat
mengaksesnya secara gratis.
Dua mahasiswa yang akan diwisuda
pada 12-13 Oktober itu mengizinkan kepada siapa saja yang ingin
memodifikasi, mengopi, dan menyebarluaskan program tersebut.
Setelah mendapat ide, mereka mulai mencari referensi di internet. Dari hasil searching,
Debi dan Eko mengetahui bahwa sudah ada orang yang menemukan produk itu
sebelumnya. Namun, penemuan tersebut hanya dalam bahasa Inggris.
Berbekal
informasi itu, keduanya mencari dosen pembimbing. Mereka dibimbing dua
dosen sekaligus. Dua dosen tersebut masing-masing membimbing bidang
yang berbeda. Yakni, sistem user interface dan text to speech.
Pembagian kerja pun dilakukan. Debi kebagian tugas mengurusi system user interface, sedangkan Eko mengembangkan text to speech
dalam bahasa Indonesia. Distro Linux yang mereka pilih untuk proyek TA
itu adalah Debian karena dinilai mempunyai aplikasi paling lengkap.
Pembuatan
Linux tunanetra ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh
perjuangan keras. Selain mulai dari nol, algoritmanya harus dibuat
sendiri. Tak hanya itu, keyboard yang digunakan juga berbeda dengan keyboard umumnya. Yakni, bertombol huruf braille.
"Keyboard
ini kami kembangkan sendiri," terang Debi. Dia menambahkan, secara
garis besar, cara kerja Linux tersebut adalah mengomunikasikan hasil
ketikan keyboard ke dalam format suara. "Jadi, bila ada suatu naskah diketik dengan keyboard braille,
akan dihasilkan suara sesuai naskah yang diketikkan," jelasnya.
Penanganan yang sama berlaku ketika komputer hendak dimatikan.
Kendalanya, sambung Eko, terjadi saat membangun database suara yang terdiri atas natural language processing (NLP) dan digital signal processing
(DSP). NLP merupakan kata yang dipotong-potong sesuai bahasa Indonesia.
"Kami harus merekam satu per satu konsonan, kemudian menggabungkannya
sendiri hingga menjadi sebuah kata," ujarnya.
Keduanya berharap
agar program itu bisa segera dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
"Mudah-mudahan ini dapat membantu banyak orang. Khususnya para
tunanetra," pungkas pria berkaca mata itu. (dio/hud)