Source : Jawapos, Edisi Senin, 2 Juli 2007
"eepis3"

Delapan Tahun Mencari Pengakuan Program D-4 diciptakan untuk menjawab kebutuhan industri terhadap tenaga kerja
yang benar-benar siap pakai. Sayangnya, banyak kalangan yang menganggap
lulusan D-4 tidak labih bagus dari S1, atau bahkan D-3.

SAAT
ini, industri lebih tertarik kepada tenaga kerja tidak hanya memiliki
kemampuan pada sektor manajerial. Kemampuan teknis dan pengetahuan di
lapangan juga menjadi salah satu perhitungan. Itulah yang membuat Titon
Dutono, direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya-Instutut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), optimistis mahasiswa yang mengambil
program Diploma-4 akan cepat terserap kerja. Titon yakin mereka
memiliki nilai plus dibanding lulusan S-1.

Memang, ada satu poin
yang mengganjal Titon dan ratusan dosen lain di belasan politeknik di
Nusantara. Pengetahuan masyarakat sendiri mengenai D-4 masih minim.
Gaung program pendidikan yang mulai dikenalkan pada 1999 itu pun nyaris
tak terdengar. "Masyarakat belum paham bahwa D-4 memiliki kualifikasi
yang sama dengan S-1. Mereka juga menempuh 144 SKS (sistem kredit
semester, Red). Sama persis," tegas Titon.

Ya, kedua program
itu memang tak jauh beda. D-4 dilindungi oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 60 tahun 1999. Pada UU Nomor 23 tahun 2005 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pun, telah mengatur kesetaraan jenjang D-4 dengan
S-1.

Pada dasarnya, yang membedakan pendidikan S-1 dan D-4
adalah kegiatan praktik. Pada program D-4, praktik dan teorinya
berkisar 50-50. Mereka diberi fasilitas untuk berpraktik di 35 teaching
laboratory. Mereka pun mendapatkan materi pengajaran yang lebih luas
dibandingkan dengan mahasiswa D-3. Proyeksi akhir, apabila bekerja di
industri, mereka mengerti manajerial dan menguasai lapangan. Ini, jelas
sedikit lebih tinggi daripada alumnus D-3. "Cakupan teknologi yang
diberikan kepada mahasiswa D-4 lebih besar," kata Titon.

Dia
lantas mengambil contoh mata kuliah sistem komunikasi digital yang
diberikan kepada mahasiswa D-3. Mata kuliah tersebut hanya diberikan
selintas. Namun, di D-4, mata pelajaran itu dikupas habis hingga objek
bergerak dan lain sebagainya.

Sistem pendidikan D-4 adalah paket
dengan kelas kecil, maksimal 30 mahasiswa per kelas. Mereka akan
mendapat gelar sarjana sains terapan (SST) ketika lulus. Dari poin
tersebut, Titon mengatakan bahwa tak ada yang berbeda dengan S-1.
"Sama-sama sarjana, hanya fokusnya yang berbeda," tegasnya.

S-1
difokuskan untuk mengembangkan teknologi, sedang D-4 untuk penerapan.
Sehingga lulusan D-4, kata Titon, lebih andal untuk mengurusi hal-hal
di lapangan. "Itulah yang dibutuhkan industri," kata dosen matematika
terapan itu.

Nah, untuk menyosialisasikan eksistensi mereka,
dibutuhkan tenaga ekstra oleh institusi pendidikan. Kampus harus
mengadakan pendekatan intensif pada perusahaan-perusahaan yang dirasa
cocok dengan alumninya. Selama ini, yang dilakukan PENS-ITS adalah
bekerja sama dengan SAC (Students Advisory Centre) ITS.

SAC
adalah salah satu tempat di mana mahasiswa dapat bertanya mengenai
peluang karir di sebuah perusahaan. SAC juga menjembatani
perusahaan-perusahaan yang mencari lulusan yang pas. Titon beserta tim
PENS-ITS selalu melakukan pendekatan. "Pernah suatu ketika mahasiswa
kami ditolak salah satu perusahaan yang mencari lewat SAC, karena
mereka lulusan D-4. Mereka bilang mencari yang sarjana," katanya.

Tak
tinggal diam, Titon lantas berinisiatif bertemu dengan pihak
perusahaan. Dia menjelaskan program pendidikan D-4 yang tak beda dengan
S-1. Bahkan, mereka memiliki nilai plus lewat banyaknya jam praktik.
Tak urung perusahaan itu lantas kesengsem. Dari situ hubungan terus
dibangun dengan baik.

Sosialisasi yang tak putus adalah kunci
sukses PENS-ITS dalam penyerapan alumni. Para alumni yang telah sukses
di berbagai perusahaan diminta tak henti berkampanye mengenai program
D-4.

Di dunia kerja, PT Maspion Group adalah salah satu
perusahaan yang tidak membedakan lulusan S-1 dan D-4. Menurut Suharto,
Asistent Director Maspion Group, di Maspion Group-mereka yang
menyandang lulusan D-4 sudah menghuni berbagai lini perusahaan. "Ada
yang bagian staf akuntansi, administrasi, marketing, hingga staf
manajer. Mereka ditempatkan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki,"
paparnya.

Dijelaskan Suharto, lulusan S-1 tidak menjamin ready
to use atau siap pakai. Mereka, menurutnya, harus ditrainning terlebih
dulu. Itulah sebabnya, lulusan S-1 tidak langsung diterima sebagai
pegawai tetap. "Pun demikian halnya dengan D-4, harus mendapat
trainning. Sehingga, tidak ada pembedaan perlakukan," tuturnya. Sebab,
sekarang ini, baru 30 persen mereka yang lulusan S-1/D-4 siap kerja.

Hanya,
lanjut Suharto, dalam rekruitmen pegawai, status akademik seseorang
memang menjadi perhatian. Pertama, untuk memetakan seseorang
ditempatkan dimana sesuai dengan jenjang akademiknya. Kedua, status
akademik menentukan besarnya gaji yang diberikan. "Tidak mungkin mereka
yang lulusan SMA disetarakan dengan lulusan S1 atau D4," terang alumnus
STIKOSA-AWS itu.

Meski demikian, kata Suharto, tiap perusahaan
atau industri memiliki kebijakan yang tidak sama. "Namun, secara umum
seperti itu," imbuh pria asli Surabaya itu. Yang pasti, lanjutnya, ada
beberapa kriteria yang dipatok perusahaan ketika merekrut calon
pegawai. Pertama, melihat status akademiknya. Kedua, skill atau
ketrampilan yang dimiliki seseorang. "Sebab, banyak juga mereka yang
hanya lulusan SMK lebih unggul daripada mereka yang lulusan S1,"
tuturnya.

Ditambahkan Suharto, tren yang terjadi di dunia kerja
saat ini adalah peningkatan status akademik untuk menunjang peningkatan
karir. "Sehingga, mereka yang lulusan D-4/S-1 tidak berhenti sampai
disitu. Fenomena di perusahaan kami, banyak yang melanjutkan dengan
mengambil S-2 sekarang ini," ungkapnya. (anita rachman/titik andriyani)

wpChatIcon
EnglishIndonesian