Source: Jawapos, Edisi Minggu 2 September 2007

"hanoi"
HANOI, Berbagai
kisah menarik mengiringi keberhasilan Tim Robot G-Rush ITS menduduki
posisi runner-up ABU Robocon 2007 di Hanoi, Vietnam. Mulai demam
mendadak hingga menjalani puasa Daud mengiringi perjuangan mereka

Kamar nomor 305 dan 306 Hotel Nahn Klach La
Than, Hanoi, menjadi saksi bisu perjuangan tim robot ITS yang berlaga
di ajang Asia Pacific Broadcasting Union (ABU) Robocon 2007. Di dua
kamar itulah, para jago robot dari Politeknik Elektro Negeri Surabaya
(PENS) ITS bermarkas selama kompetisi berlangsung.

Menyusun
strategi, berdoa, dan menghilangkan ketegangan, semua dilakukan di dua
kamar tersebut. Memang tak semua anggota tim merasa tenang menghadapi
pertandingan yang berlangsung 24-27 Agustus itu. Apalagi mereka membawa
nama negara. Meski ada yang berusaha menutupi dengan bernyanyi atau
mendengarkan musik, dari wajah mereka jelas terpancar ketegangan.

Karena
itu, tak jarang mereka lebih memperbanyak ibadah. Itu pula yang
dilakukan Firdaus Nurdian Syah. Daus, sapaan akrabnya, merupakan
personel yang paling rajin beribadah. Kopiah selalu nangkring di
kepalanya. Selama lima hari berada di Hanoi, setidaknya dua hari
digunakan Daus untuk berpuasa. "Saya selalu puasa Nabi Daud (sehari
puasa sehari tidak, Red). Kesuksesan semuanya Allah yang menentukan,"
kata mahasiswa yang mengaku baru pertama pergi ke luar negeri itu.

Malam
pertama di Hanoi digunakan tim G-Rush untuk beradaptasi. Tim yang
beranggota lima cowok, yakni Pramudya Airlangga, Marsudi Handoyo,
Firdaus Nurdian Syah, Andik Hermawanto, dan Ali Murtadlo, tersebut
berusaha rileks. Pramudya selaku ketua tim sering mengeluarkan
joke-joke segar untuk menghilangkan kepenatan setelah menempuh
penerbangan selama lima jam. "Wah, cewek Vietnam cantik-cantik. Bisa
bawa satu ke Indonesia nanti," guraunya.

Angga juga menyempatkan
berkenalan dengan tim dari negara lain. Dia yang pernah memperkuat tim
Indonesia di Malaysia tahun lalu juga bersua dengan kenalannya dari
Malaysia. "Wah, ketemu lagi. Sekarang saya ketua tim," sapa Angga
kepada salah seorang personel tim dari Malaysia.

Suhu malam di
Hanoi yang saat itu mencapai 27 derajat celsius membuat kelima personel
kedinginan. Untuk mengatasi hal tersebut, Ali Murtadlo makan
sebanyak-banyaknya. Apalagi menu yang disajikan pihak hotel cukup
bervariasi. "Dingin-dingin enaknya makan nasi goreng," kata Ali yang
bertampang kalem itu.

Sebelum tidur, seluruh anggota tim
berdoa bersama. Setelah itu mereka salat isya berjamaah, dilanjutkan
tadarus Alquran. "Kalau secara teknologi, robot kami sudah canggih.
Tapi, yang menentukan adalah Allah," tutur Daus yang memimpin doa
bersama tersebut. Kemudian mereka langsung istirahat. Sebab, esoknya
mereka harus melakukan running test.

Sabtu pagi, 25 Agustus,
seluruh anggota tim tampak segar. Usai makan pagi, mereka langsung
mengutak-atik robot untuk persiapan running test yang dijadwalkan
siang. "Pokoknya semua robot harus siap," ujar Angga.

Persiapan
menjelang running test tersebut merupakan saat-saat yang menegangkan.
Tampilan robot dari negara lain sempat membuat keder tim G-Rush. "Wah,
robot tim lawan sangat kukuh. Apa bisa ya kita menang?" kata Daus
setengah ragu.

Menjelang running test, Daus tak pernah lepas
dari robot manualnya. Dia terus mengutak-atik robot setinggi satu meter
tersebut. Pria kelahiran Surabaya itu memang diberi tugas sebagai
driver robot manual tim G-Rush. "Pokoknya, robotku gak boleh kalah,"
tuturnya.

Untuk menambah rasa percaya diri, Daus membawa dua
foto perempuan. Foto-foto itu ditaruh dalam bingkai kecil. Daus
mengatakan bahwa foto tersebut selalu dibawa ketika G-Rush akan
bertanding. "Yang satu foto ibu saya, satunya foto perempuan yang
sangat saya kasihi," ujarnya tanpa mau menyebut nama kedua perempuan
itu.

Ketegangan memuncak menjelang pertandingan pada Minggu
(26/8). Marsudi Handoyo atau yang akrab dipanggil Komeng tampak demam
panggung. Menjelang perlombaan, tubuh Komeng tiba-tiba panas dingin.
"Kayaknya saya mau sakit. Mungkin kecapaian," katanya.

Agar
kondisinya tak makin buruk, dia diminta istirahat oleh teman-temannya.
Karena sudah berada di arena pertandingan, istirahatnya juga bukan di
kamar hotel. Kebetulan, di pit stop ada beberapa kotak besar. Nah, di
salah satu kotak itulah Komeng beristirahat.

Begitu bangun,
badannya terlihat lebih segar. Bahkan, dia langsung blusukan ke markas
tim lain untuk memata-matai kekuatan robot musuh. "Satu robot tim
Jepang rusak," cetusnya.

Jika sesaat sebelum lomba Komeng merasa
deg-degan, tidak demikian dengan Andik Hermawanto. Dia mengaku lega
setelah tahu lawannya adalah Bangladesh. "Setelah uji robot pertama
kami tahu bahwa kami satu grup dengan Bangladesh. Peluang kami untuk
menang pasti lebih besar," katanya dengan pede.

Optimisme
mahasiswa kelahiran 26 Juli 1986 tersebut akhirnya terbukti. Setelah
melakukan dua kali pertandingan melawan Bangladesh, tim Indonesia
menang mudah dengan skor 2-0.

Kesuksesan itu berlanjut hingga
babak perempat final dan semifinal. Di perempat final, Tim G-Rush
sukses mengalahkan tim robot Thailand yang merupakan musuh bebuyutan di
kontes ABU Robocon. Di semifinal, giliran tim Malaysia yang ditekuk.
Kesuksesan beruntun tersebut membuat seluruh anggota tim bersuka cita.
Termasuk, lima dosen yang mendampingi mereka.

Ketegangan
kembali muncul saat babak final melawan Tiongkok. Sebab, robot G-Rush
tak bisa bekerja maksimal karena kena block lawan. Ketika pertandingan
usai, pecahlah tangis dari seluruh anggota tim. Sebab, mereka gagal
meraih prestasi puncak. Menkominfo Mohammad Nuh yang menyaksikan
langsung babak final juga ikut bersedih atas kegagalan mantan
mahasiswanya di PENS-ITS itu.

Total anggota rombongan adalah 10
orang. Tim G-Rush lima orang, pembimbing 2 orang, dan observer 3 orang.
Saking sedikitnya jumlah personel, sering sekali terjadi rangkap tugas
di lapangan.

Fernando Abdilla misalnya. Jika dibandingkan dengan
negara lain, sebagai pembimbing, semestinya dia hanya bertindak sebagai
pengamat. Tap,i karena jumlah tim terbatas, Nando -sapaan akrabnya-
juga sering membantu mereparasi robot G-Rush. "Kalau tidak dibantu, gak
bakalan kelar," tegasnya.

Ali Husein yang merupakan pembimbing
senior juga merangkap tugas. Ali juga menjadi peserta defile saat
upacara pembukaan. Bahkan, Jawa Pos juga termasuk salah seorang peserta
defile yang memegang papan nama bertulisan negara Indonesia. "Sebut
saja kami sebagai tim gado-gado," kelakar Ali.

Endra Pitowarno
dan Gigih, yang terkenal sebagai pakar robot ITS, juga merangkap
sebagai kamerawan. Dua dosen terbang yang sudah pernah melanglang buana
hampir ke seluruh universitas di Asia itu ditunjuk sebagai seksi
dokumentasi. "Hitung-hitung belajar jadi kamerawan," kata Endra.

Yang
sangat terasa adalah ketika komponen salah satu robot terbakar, padahal
sudah memasuki babak final. Semua kru langsung bahu-membahu agar robot
tersebut bisa berjalan kembali. Bahkan, Nando pula yang akhirnya
memperbaiki dengan menggunakan solder. "Saya lihat personel sudah
panik. Jadi kalau dipaksakan bisa tambah gawat," jelasnya.

Keterbatasan
jumlah personel (rata-rata setiap negara terdiri atas 35 personel)
itulah yang membuat seluruh tim Indonesia semakin guyub. (Dedy H Sahrul)

wpChatIcon
EnglishIndonesian