Kurikulum Mengacu Kebutuhan Industri

"mekatronik"EEPIS Online, Perkembangan
industri yang pesat menuntut ketersediaan sumber daya manusia yang
menguasai teknologi otomatisasi alias robot. Kini, kebutuhan itu mulai
direspons kalangan perguruan tinggi. Caranya dengan membuka pendidikan
teknik mekantronika.


BAYANGKAN ketika seorang ahli mesin ditantang mengoperasikan motor
dengan tegangan 3 ribu volt dan arus 2 ribu ampere secara manual. Pasti
dia tidak sanggup mengontrol daya sebesar itu tanpa bantuan komputer.
Atau ketika seseorang yang ahli di bidang elektronika ditantang hal
yang sama. Mungkin dia langsung mundur karena melihat mesin-mesin
sebesar gajah.

"Yang akan tetap maju adalah ahli mekantronika,
yakni mekanik dan elektronika. Dialah yang mampu menguasai otomasi,"
tutur Dr Ir Endra Pitowarno M.Eng, ahli robotika Politeknik Elektronika
Negeri Surabaya (PENS)-Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
menyudahi ceritanya.

Mekantronika, bidang khusus yang membahas
mengenai otomatisasi (atau yang sering disebut otomasi dalam dunia
teknik) kini kian dibutuhkan. Suka tak suka, Indonesia juga harus mulai
bergerak ke arah itu. Oleh karenanya, perguruan tinggi (PT) sebagai
lembaga pendidikan dituntut untuk mampu menghasilkan ahli-ahli otomasi.

Di
tanah air, belum banyak PT yang memiliki kekhususan bidang
mekantronika. Sebuat saja Universitas Indonesia (UI), Politeknik
Manufaktur Bandung, serta yang baru saja membuka program studi (prodi)
tersebut PENS-ITS. Institut Teknologi Bandung (ITB) masih merintis
untuk membuka program serupa dalam bentuk S-1.

Menurut dosen
senior Fakultas Teknik UI, Dr Ir Wahidin Wahab, prodi teknik
mekantronika yang berada di bawah jurusan teknik mesin tak begitu
populer. Banyak mahasiswa teknik mekantronika yang setelah lulus malah
bekerja menangani masalah manajerial di perusahaan. "Mereka masih
mengejar gengsi dan gaji," katanya.

Tren tersebut berlangsung
beberapa tahun yang lalu. Apalagi ketika ada larangan dari pemerintah
dalam menggunakan tenaga mesin sebagai pengganti manusia beberapa tahun
silam. Kini, aku Wahidin, tren itu memang mulai berubah. Kian banyak
yang tertarik dengan dunia otomatisasi atau robotika. Tak sedikit
remaja yang tergila-gila mengutak-atik kit untuk membuat robot.

Pernyataan
Wahidin diamini oleh Dr Muljowidodo, ketua laboratorium otomasi dan
robotika ITB. Menurut dia, indikasi tersebut sebenarnya sangat positif.
Namun, yang harus lebih diperhatikan adalah kurikulum dan penerapannya.
Robot yang dihasilkan harus berguna dan benar-benar dibutuhkan oleh
masyarakat kita. "Itu yang akan menjadi nilai tambahnya. Mungkin saja
kebutuhan kita dan Singapura berbeda. Sehingga, hanya orang kita yang
dapat memenuhi kebutuhan kita," ungkap Muljo ketika ditemui pada final
Kontes Robot Indonesia (KRI) dan Kontes Robot Cerdas Indonesia (KRCI)
kemarin.

Dua poin yang diungkapkan oleh Muljo tersebut yang coba
dilaksanakan PENS-ITS. Sebagai politeknik yang baru membuka prodi
tersebut, PENS-ITS menetapkan kurikulum yang berbeda. Endra, yang juga
menjabat sebagai ketua prodi teknik mekantronika PENS-ITS, mengatakan
bahwa kurikulum yang dilaksanakan mahasiswanya adalah kurikulum hasil
perkawinan Amerika Serikat (AS) dan Jepang.

Hal itu diambil
PENS-ITS terutama setelah mempelajari prodi teknik mekantronika di
beberapa PT di Indonesia yang memiliki. Dia sependapat dengan Muljo,
bahwa mahasiswa mekantronika harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat.
Oleh karena itu, mereka diberi keseimbangan antara teori dan praktik.

Itulah
salah satu alasan mengapa PENS-ITS memadukan kurikulum AS (yang
diadopsi dari Massachusetts Institute of Technology) dan Jepang (yang
diadopsi dari Tokyo Institute of Technology). Endra mengatakan,
kurikulum AS cenderung memperdalam teori. Berbeda dengan Jepang yang
ketika teori baru setengah matang lantas tak tahan untuk langsung
digarap. "Untuk itu kami memadukan kedalaman teori dan semangat untuk
langsung menggarap,"’ tegas pria yang rajin menulis buku mengenai
robotika tersebut.

Menurut dia, mahasiswa harus sering diajak
melihat kebutuhan masyarakat saat ini. PENS-ITS memiliki satu mata
kuliah untuk mengakomodasi hal itu. Misalnya, satu mata kuliah (yang
mereka contoh dari MIT) mewajibkan mahasiswa berkompetisi membikin
robot. Namanya, mata kuliah robot competition.

Tak cukup sampai
di situ, pada akhir kuliah mereka harus mampu menghasilkan suatu karya
pada akhir berbentuk. Hanya, Endra menekankan, tentu bukan hanya robot
seperti yang dibayangkan kebanyakan orang dengan tangan, kaki, dan
mungkin juga kepala.

Robot yang dimaksud mungkin saja berbentuk
segala rupa. Misalnya lengan, untuk memasang beberapa organ tertentu
dalam kapal yang tak mungkin dilakukan manusia. Nah, karena PENS-ITS
berkonsentrasi pada tiga bidang, ground robotic vehicle (darat), under
water robotic vehicle (dalam air, misalnya kapal selam tanpa
pengemudi), dan unman aerial (udara) maka mereka juga akan menghasilkan
alat-alat tersebut.

"Perguruan tingi di dalam negeri harus
rajin bekerja sama dengan perguruan tinggi di mancanegara. Kami sendiri
ada kerja sama dengan Jepang. Kami membikin ICT management disaster
risk," katanya. Mereka akan bekerja, antara lain, untuk membuat
helikopter tanpa awak. Helikopter tersebut dipergunakan saat
mengevakuasi korban bencana alam. Selain robot-robot berskala besar
seperti itu, Endra mengatakan bahwa mahasiswa juga dituntut mampu
mencipatakan robot yang aplikatif untuk kebutuhan industri.(Anita
Rahman)

wpChatIcon
EnglishIndonesian